Khas - Sudah 52 tahun peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal TNI dan satu perwira. Yaitu terjadi pada 30 September 1965, Sejak masa reformasi, berbagai upaya penyelesaian tragedi berdarah itu dilakukan. Semua pihak campur tangan untuk menuju rekonsiliasi.
Situs Judi Online Terpercaya - Tetapi, nyatanya rekonsiliasi itu belum berjalan baik. Yaitu banyak pihak tyerutama keluarga korban yaitu sudah mulai menerima tragedi'65 sebagai sebuah kenyataan hidup. Sementara beeberapa pihak masih merasa menjadi yang dikorbankan dan menuntut keadialan kepada Negara.
Bandar Judi Online Indonesia - Ini yaitu merupakan salah satu indikator bahwa rekonsiliasi belum mencapai titik temu Tak hanya itu, saat ini isu kebangkitan PKI yaitu kembali memanas dijadikan kambing hitam dari kenyataan sejarah. Yaitu banyak pihak berupaya kembali membelokkan fakta sejara tentang tawasnya tuhuh pahlawabrevolusi di Lubang Buaya.
Agen Judi Online Indonesia - Pernyataan tersebut yaitu disampaikan putra sulung Brigjen Sutoyo Siswomihardjo, Agus WIdjojo. Nerikut wawancara tim Khas228.blogspot..comn dengan Letjen (Ourn) Agus WIdjojo dilakukan pada Selasa pekan lalu.
Bagaimana tanggapan Bapak terkait kembali memanasnya isu kebangkitan PKI?
Bandar Togel Online Indonesia - Tidak ada kondisi yang sengaja membuat masalah itu muncuk maka dia tidak akan muncul, mungkin juga dia malah diimbangi dengan masalah lain untuk yang bersifat lebih mendesak, sebenarnya luka itu bekum sembuh (tragedi 65).
Saat ini sudah sering dibahas rekonsiliasi. Idealnya seperti apa dengan situasi memanas lagi seperti saat ini?
Agen Poker Onlien Indonesia - Itu sudah garis besarnya tuh, pertama up run, bottom line. Yaitu dalam kondisi seperti sekarang ini, prioritas harus kita tunjukkan karena itu merupakan anugerah dan kekayaan bagi kita. Namun dalam kondisi seperti sekarang ini yang masih rawan setiap kali ada permasalahan kita harus dekati dengan persamaan sampai dia sembuh sakitnya. Yaitu karena masyarakay kita belum cukup desawa untuk melihat satu maslaah kebangsaan dari perspek tif perbedaan yang sebetulnya bermanfaat untuk kiya cari dan ambil pelajaran, justru untulk merekatkan persetuan dan kesatuan bangsa, masyarakat kita pasti belum siap untuk sampai ke situ.
Apa yang bikin retak di antara kita?
Bandar Poker Online Indonesia - Kita belum siap untuk rekonsiliasi, persyaratan itu adalah bahwa pertama semua harus berdamai dengan dirinya sendiri terlebih dahulu. Yaitu semua hari berdamai dengan masa lalunya dulu, kalau seperti kemarin kiya lihat masin-masing pihak masih menempatkan dirinya dalam konteks 65, dalam peran 65. Ya sudah, kemarin itu Indonesia yaitu masih berada sepeti di tahun-tahun itu.
Situs Judi Online Terbaik dan Terpercaya - Kita tidak bisa menempatkan dirinya sebagai manusia di tahun 2017 dan mengadakan refleksi untuk melihat tragedi 65 dari perspektif Indonesia tahu 2017. Yaitu dengan keluar dari konteks 65, apa uitu persyaratannya? Rekonsiliasi itu tidak menunding-nuding berbagai pihak. Apabila kita dari masing-masing pihak mengadakan refleksi dan intropeksi yaitu terhadap diri sendiri untuk memberi ruang secara sukarela guna ada kesepajatan bagaimana seharunya kita sebagai bangsa melihat dengan keadaan sekarang, itu belum ada sifat di masyarakat kita.
Kalau kita lihat dulu ada Forum Silaturahmi Anak Bnagsa. Apa enggak mundur lagi dengan kondisi-kondisi seperti itu?
Ya kita untuk maju dan mendorong supaya mencapai kondisi rekonsiliasi secara subtansif. Rekonsiliasi kumpul-kumpul bersana sudah banyak. Forum Silaturahmi Anak Bangsa, yang kita adakan sendiri di situ ada anak Aidit, Kartosuwiryo, tapi sekedar untuk duduk bersama dan makan bersama, tapi tidak secara substantif untuk mendorong masuk pihaknya masing-masing, apa yang terjadi, di mana tanggung jawab pihaknya, bukan tanggung jawab yang lain dalam tragedi 65.
Karena dalam tragedi, masing-masing pihak sampai tingkat tertentu pasti punya tanggung jawab dan tidak bisa mempersalahkan kepada satu pihak, juga dipertanggungjawabkan dengan mengakui 'saya korban', dan semua ini harus bertanggung jawab karena ini merupakan proses dan tragedi yang menyebabkan sebab dan akibat.
Kalau dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa tatanannya sudah pada intropeksi diri atau bagaimana?
Yaitu tidak ada hukum di Indonesia untuk membuat orang sampai ke tingkat itu. Forum itu sebenarnya sudah bagus, bisa berkumpul, bisa menyatu dengan anak korban dan pelaku. Tapi kelemahan dari rekonsiliasi semacam itu tidak ada pelajaran yang dipetik. Apa yang terjadi kesalahan di masa lalu, kalau memang sekarang kita sepenuhnya menerima dan masuk ke dalam demokrasi, sebetulnya tragedi 65 tidak akan terulang kembali. Segala sesuatu masalah kebangsaan akan dipandang memalui kaidah demokrasi dan diselesaikan dengan kaidah-kaidah demokrasi juga bahwa suatu perbedaan itu harus diselesaikan dengan kekuatan.
Kelemahan event yang diadakan di LBH adalah pertama, dia banyak mengumpulkan dari kelompok yang banyak sejalan dengan pemikirannya. Kalau itu ya kita akan makin mabuk. Kedua akan meneruskan sejarah. Siapa pun yang memiliki kewenangan meluruskan sejarah tidak pula sejarawan, namun bahwa pepristiwa masa lalu akan didapat dengan datang berkumpul bersama, di mana letak tanggung jawab belompoknya terhadap tragedi 65 itu. Itu dibuktikan, maka kebenaran kul tural akan terbongkar untuk melihat bahwa kita semua dilandasi keinginan yang sama untuk bersatu kembali dengan berdamai pada dirti sendiri dan dengan masa lalu. Itu berat. Itu susah. Saya tidak percaya itu ada pada masyarakat Indonesia saat ini. Akhirnya akan kembali-kembali juga orang banyak menyebutkan rekonsiliasi.
Rekonsiliasi itu artinya pendekatan. (Kalau hanya) korban ya tidak bisa dong. Itu sudah berpihak dan korban tragedi 65 ini ada di mana-mana. Karena korban ada di mana-mana, maka perlu juga ada perhatian-perhatian yang diberikan kepada korban, itu timbal baliknya. Jjadi, tidak satu pihak. Kita tarik garis, sana hitam, sini putih. Begitu juga sebaliknya. Maka tidak tercapai masalah seperti itu. Yaitu jadi juga tujuan dari pertemuan itu dia tidak meletakkan dirinya pada jalur, itu hanya menambah polarisasi dan kita akan susah bergerak untuk mencapai rekonsiliasi.
Kalau dulu, saat Saya simposium di Hotel Arya Duta banyak kealing proses dan juga truth seekinh. Yaitu biarkan semua pihak bicara agar kita semua tahu. Kalau Kemarin yang di LBH kan cuma satu pihak yang ingin mencoba meluruskan sejarah. Tidak ada itu sebenarnya, jika mereka ingin meluruskan sejarah, itu versi dia. Jadi masyarakat kita belum siap untuk rekonsiliasi
Simposium Tragedi 1965 di Aryaduta sempat mencuri perhatian. Kedua belah pihak dihadirkan untuk duduk bersama dan disaksikan banyak pihak. Apakah nanti akan ada simposium lanjutan?
Harus dilalui dengan proses pencerahan terlebih dahulu kepada semua pihak terhadap apa yang akan direkonsiliasi. Apakah kita sepakat untuk melalui rekonsiliasi? Apa kita mau terus fanatik, saling memusuhi, sampai kapan? Dikasih dengan cara-cara apapun itu tidak akan menyelesaikan.
Masyarakat kembali memanas dan menyangkut-pautkan berbagai hal dengan PKI. Menurut Anda, bagaimana masyarakat saat ini harus bersikap terhadap isu komunisme?
Bawalah kepada fakta dan bagaimana menyikapi kondisi seharusnya. Sebetulnya rambu-rambu hukum sudah cukup kuat, terutama MPRS tahun 1966. Turut menyebarkan ajaran komunisme yang diancam dengan hukuman-hukuman tertentu. Misalnya, tegakkan lagi seperti itu. Hanya mungkin memang, hukum itu belum konkret yang dinyatakan sebagai menyebarkan ajaran komunisme yang bagaimana, jangan sesuatu yang sifatnya sangat umum.
Saya ingatkan kembali seperti (kepada) para peserta dari Lemhanas. Vietnam itu negara dengan partai tunggal dengan nama Sosialis Vietnam, dengan bendera warna merah dan lambang palu arit, dan itu dijual sebagai souvenir. Kalau memang itu mau dilarang di Indonesia, cantumkan peraturan itu dalam undang-undang. Itu pun harus dengan konkret agar semua tahu akan hal itu. Tapi tentunya kalau itu hanya sebatas komunitas publik, tentunya itu merupakan suatu sifat yang umum. Lantas apa yang dikatakan sebagai penyebaran paham dan ajaran komunisme, harus diperjelas juga maksud dalam undang-undang tersebut.
Sehingga kita bisa mengatakan, ini lihat jadi bukan yang angan-angan, yang ada sikapnya sedikit saja bersinggungan. Nah itu harus konkret dan terukur. Bisa dikatakan bahwa ini yang melanggar tindakan hukum yang sekarang berlaku. Kalau tidak seperti itu, ya peraturan bisa berubah-ubah. Tadi juga saya lihat bahwa pernyataan kepolisian tentang LBH kemarin tidak ada unsur ajaran komunis. Lantas gimana, itu harus ada penjelasan ke publik dan masyarakat. Oleh karena itu, akan non produktif apabila saat ini kita sudah mencoba untuk mendekati permasalahan kebangsaan ini dari perspektif yang berbeda. Kita belum cukup cerdas untuk membahas perbedaan di kalangan sesama warga bangsa untuk bisa menarik sebuah pelajaran. Sebetulnya dia mengandung banyak pelajaran, tapi kalau kita tidak bisa menarik kesimpulan dari pelajaran itu ya hanya lebih bersifat deduktif dibanding dengan konstruktif.
Kalau pun kita bisa dipecah belah itu tergantung dari dalam diri kita. Tapi jangan sampai kita membuat kelemahan sehingga kita bisa diadu domba di antara kita dan kalau kita lihat di zaman modern seperti sekarang. Yang membuat sebuah negara terpecah-terpecah apabila angkatan bersenjatanya bisa dipecah-pecah. Jadi kita tidak bisa mengatakan bahwa ini ada konspirasi, itu tergantung dari kitanya seperti apa menghadapi ancaman perpecahan itu sendiri. Juga tergantung dalam kita punya pertahanan nasionalnya. Kalau sampai ada pihak luar yang bisa mencapai kepentingan pasti ada kelemahan dalam diri kita, jangan boleh terjadi.
Sebetulnya ada juga pengaruh kecil dari infiltran-infiltran komunis pada tahun ’65. Oleh sebab itu ada seseorang pengamat dari luar negeri mengatakan bahwa perwira TNI AD yang dibunuh di Lubang Buaya itu dibunuh oleh sesama perwira TNI AD lainnya. Tahun ‘65 itu ada yang disusupi sehingga ada yang bersimpati dan berpihak, ada yang dengan komunis. Tetapi kita perlu jujur juga bahwa, apabila kita berdamai dengan masa lalu ya maka kita lihat juga bahwa harus dijaga tentang perlakuan negara terhadap warga negaranya. Bahwa ada yang berpendapat kalau negara itu tidak pernah bisa sama, nah ini kan dengan jelas ada dua pihak. Sama-sama pegang pendapatnya sendiri, tidak mau disalahkan dan menuntut, saling menuduh anggota lain sebagai pihak yang bersalah.
Sekarang kan ada responsibility to protect. Itu bisa dan boleh dimiliki oleh negara dan diimplementasikan dengan secara bertanggung jawab untuk melindungi sebagian besar warga negaranya, bukan untuk menindas warga negaranya.
Film G 30S PKI kembali di putar setelah dulu dihentikan oleh TNI AU tahun 1998. Tahun ini untuk pertama kalinya TNI AD mendukung pemutaran film tersebut. Bagaimana tanggapan Bapak?
Ya itu saya katakan, bahwa hal semacam itu masih sangat hidup di masyarakat Indonesia. Bahwa ada pihak yang antagonistis saat tragedi ‘65 dan pihak yang dituduh untuk berpihak pada salah satu pihak yang bertikai. TNI AU merasa dirugikan karena kejadiannya banyak di areal Halim, oleh karena itu datang dari figur TNI AU pada saat itu. Mengenai film itu, kalau itu adalah pembunuhan dan pembuangan jasad jenderal TNI AD di sumur tua di Lubang Buaya, itu fakta sejarah dan diculik satu per satu. Saya ada di rumah pada waktu itu. Masalahnya adalah luka ini tidak akan sembuh. Sehingga mudah untuk muncul lagi karena memang kita tidak tahu sikap kita bagaimana untuk keluar dari permasalahan itu sebagai bangsa dan warga masyarakat. Kalau masyarakat Indonesia sudah ‘sehat’ saya kira tidak akan ada masalah khusus jika memang film ini mau diputar kembali karena ini kan merupakan fakta sejarah. Tapi punya konotasi politik.
Tapi dari TNI AU sudah mendengar rencana pemutaran lagi film ini?
Saya rasa tidak setajam yang lalu walaupun memang masih kembali pada luka lama itu masih ada. Itu persepsi diri yang sebetulnya juga membuat kita bertanya apakah perlu dimunculkan dikotomi itu ? Kalau memang mau diputar ya diputar saja. Kalau dikatakan bahwa itu fakta, ya memang itu terjadi dan merupakan sejarah kita, tapi karena diberi bobot konotasi politik itu menjadi ‘ramai’.
Sebagai saksi sejarah saat itu, bagaimana Bapak menilai film G 30S PKI?
Itu merupakan kenyataan sejarah. Sudah merupakan perjalanan sejarah dan itu di masa lalu. Saya anak laki-laki sih ya. Saya punya adik perempuan, traumatiknya begitu berkepanjangan. Begitu kejadian saya langsung berpikir bahwa saya siap menghadapi kemungkinan terburuk ke depannya. Saya harus tetap mengejar masa depan, saat itu saya baru lulus SMA (18), bisa dirasakan bagaimana dengan tiba-tiba kepala keluarga itu lenyap tidak tahu mengapa lantas bagaimana nasib kita? Mungkin kalau tidak ada kejadian seperti itu saya tidak bisa menjadi tentara kayak sekarang ini.
Lantas apa yang kemudian membuat bapak ingin menjadi tentara?
Kepastian masa depan, saya ingin mencari bidang pengabdian yang bisa meneguhkan hati saya, itu adalah pengabdian dalam keprajuritan.
Pernahkah Bapak terpikirkan untuk balas dendam ?
Oh enggak ada. Bagaimana mau balas dendam orang itu tragedi nasional kok. Siapa yang saya cari? Saya pengen tahu juga sih, siapa yang bunuh ayah saya, bagaimana cara membunuhnya, mengapa dibunuh Itu baru saya dapatkan dari pengetahuan-pengetahuan yang dalam selama saya menjadi perwira. Tapi ketika itu, lulusan SMA, paling ketika tahu bagaimana ramainya politik pada saat itu, kita baca surat kabar, mendengarkan radio dan melihat warta berita televisi yang masih hitam putih yaitu TVRI.
Apakah Bapak sudah memaafkan tragedi 1965?
Berdamai dengan masa lalu, yang sudah ya sudah. Belum tentu itu memafkan, tapi saya terima itu sebagai sebuah kenyataan. Tetapi saya berpikir untuk kepentingan bangsa, bukan saya pribadi, atau untuk membalas dendam walaupun masih ada keinginan dalam diri sendiri masih ada rasa penasaran siapa sih yang bunuh ayah saya itu, itu enggak bias dihindari. Tapi ke depannya bagaimana kita sebagai masyarakat menghadapi hal itu? Mau terus begini? Saling mendendam? Sampai kapan? Itu aja sih yang saya pikirkan.
Bapak adalah korban dari tragedi ’65. Sejauh ini Bapak yang paling ‘legowo’ atas peristiwa itu. Bagaimana Bapak menjalani proses stu sampai akhirnya menerima dengan lapang dada?
Enggak gampang itu ya, karena itu proses pencarian. Waktu itu saya mendapat tugas sebagai komisi untuk perdamaian antar kedua belah pihak yaitu Timor Leste dan Indonesia yang angkatan bersenjatanya berkeras bersinggungan. Mulai dari situ saya melihat adanya rekonsiliasi perdamaian dari kedua belah pihak yang sedang bertikai. Dari situ saya melihat bahwa perdamaian adalah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah pertikaian. Saya memutuskan untuk segera berdamai dengan keluarga pelaku dan juga keluarga korban tahun ‘65. Rekonsiliasi itu sendiri baru bisa dipahami jika seseorang sudah berdamai dengan dirinya sendiri.
Bagaimana dengan para anggota di Forum Silaturahmi Anak Bangsa?
Sangat sedikit.
Kalau doktrin di Angkatan Darat tentang komunis itu seperti apa? Bagaimana cara doktrin tentang komunis ini diajarkan?
Ya memang benar. Masalahnya bukan sejarah. (Tahun) ‘48 mereka (PKI) berontak. Sebetulnya ‘63 mereka beralih kepada dari strategi revolusioner Rakyat Cina. Mereka memaksakan kebijakan-kebijakan yang pro komunis dan mereka menjadi anak emasnya Presiden Soekarno, di antaranya ada lentiform. Yang sebetulnya mereka tidak mau dibuka kedoknya. Angkatan kelima, mempersenjatai buruh tani guna bisa mendampingi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, dan itu khas negara komunis. Ini mereka desakkan setelah mereka memenangkan hati dan pikiran Presiden Soerkarno. Semakin intens lagi setelah mereka mendengar informasi desas-desus sakitnya Bung Karno dan tidak akan lama lagi bisa dikendalikan hidup Bung Karno. Yang menentang itu paling gencar adalah Angkatan Darat. Tapi Angkatan Darat lebih bersifat defensif.
Nah mungkin PKI ini yang terpancing ‘kapan nih kita bertindak. Kalau kita terlambat bertindak kita keduluan Angkatan Darat’. Mereka terpancing untuk masuk, yang di dalamnya juga masih belum utuh sebetulnya karena mereka menyusupkan orang-orang PKI ke dalam AD. Mungkin juga ini berbaur dengan kepentingan Presiden Soekarno. Bisa jadi penculikan ini ujung politik angkatan ‘45 yaitu penculikan di Rengas Dengklok. Nah ini kan kultur politik dulu, yang dilaksanakan oleh elemen-elemen yang tidak profesional. Makanya mereka mengambil jenderal Yani. Enggak nyangka kalau bakal ada perlawanan. Bagaimana mau diculik enggak bisa, ya ditembak, pengawalnya juga ditembak. Di rumah Jenderal Pandjaitan juga ada keponakan laki-laki, ada senjata lalu ada perlawanan. Gimana ini? Ya tembak aja. Di rumah Jenderal Nasution, ya mereka kira itu Nasution, ya ditembak juga. Ketika dibawa ada koordinator di Lubang Buaya dia melihat ada yang mati dan dia simpulkan bahwa ‘gerakan kita gagal’. Mereka tidak punya plan B apabila gerakan mereka gagal, semua amatiran.
Mereka juga menanamkan dendam di hati masyarakat. Tanya anggota HMI, Anshor, budayawan, itu semua diintimidasi oleh Pemuda Rakyat. Ada tuh anggota Babinsa yang digorok karena berusaha melawan. Aksi seperti apa, aksi sepihak. Jadi ketika saya duduk bersama anaknya Aidit, dan saya juga dipertanyakan oleh teman-temen saya, ‘ngapain duduk semeja dengan pembunuh ayahmu Gus?’ Saya tidak permisif dengan tindakan saya itu, tetapi saya ingin memaksakan PKI harus ikut bertanggungjawab atas peristiwa ’65. Tanggung jawab dong, di mana letak tanggug jawabmu? Saya ingin mengatakan PKI-PKI itu tangannya ikut berlumuran darah. Kenapa kalian tidak pernah mengatakan bahwa sebelum 1 Oktober ‘65 sebelum jam 4 pagi. Jam 4 pagi masih terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh PKI. Apalagi sebelum-sebelumnya tahun 48. Kuburan masal itu banyak. Kenapa tidak pernah disinggung? Itu yang mau saya paksakan untuk diakui. Saya katakan, adakan refleksi dan intropeksi pada diri kalian sendiri.
Dari Sisi yang anti PKI juga alasannya adalah bahwa gerakan-gerakan itu termasuk Pulau Buru. Tindakan yang keras ke PKI untuk mencegah korban yang lebih banyak yang diakibatkan oleh PKI bisa dipertimbangkan. Tapi kalau sampai bertahun-tahun bela diri namanya bukan bela diri tapi ada keterlibatan langsung dan ini yang tidak diakui dari sisi anti PKI.
PKI tidak mengakui pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum ‘65 dan mereka merasa tidak bersalah dan merasa menjadi korban dan di sini ada yang mengatakan negara tidak mungkin bersalah. Nah sekarang kita sudah dibukakan dengan responsibility protect. Kalau dulu kedaulatan adalah hak sebuah negara dari ancaman negara lain, dan bisa mengatakan ini kedaulatan maka kalian tidak bisa ikut campur. Nah sekarang enggak bisa karena munculnya Amerika sebagai negara Adidaya. Jangan kita merasa tersinggung karena itu tapi tunjukan oke negara kamu punya hak atas kedaulatan tetapi diwujudkan dan dimanifestasikan dalam tanggung jawab melindungi hak dasar warga negara bukan untuk menindas warga negara dan itu dikatakan responsibility protec. Jadi masyarakat kita belum siap untuk melakukan rekonsiliasi dari semuanya.
Menurut Bapak siapa yang memainkan isu ini? Oposisi kah?
Ya campur aduk sih. Segala cara digunakan untuk mencapai tujuannya yang beraneka ragam dan pasti itu tujuan politik.
Sebetulnya ketakutan masyarakat kepada PKI saat itu karena apa?
Karena dibuat dalam kemasan informasi yang menakutkan dan itu belum tentu benar. Kalau istilah yang diangkat dalam orde baru ekstrem kiri dan ekstrem kanan itu saya ulang itu kedaulatan Pancasila. Itu datang dengan segala spektrumnya. Kalau ekstrem kiri itu ada kemungkinan untuk datang kembali. Apakah ektrim kanan tidak akan muncul kembali? Tanya orang Jawa Barat sekarang ini, dari mana gerakan-gerakan intoleransi.
Sampai Bandung saya ketemu dengan kaum tengah. Di pantai utara juga banyak pesantren-pesantren pusat pusat agama Islam juga banyak, tetapi mereka bukan teroris. Oleh karena itu selalu beritanya Bandung, Bogor.
PKI bilang G30S itu kan di Jakarta. Tapi merembet juga sampai Yogya. Bagaimana menurut Anda?
PKI itu partai politik yang militan. Tujuan politiknya jelas, caranya jelas dan organisasinya jelas. Jadi tidak sulit untuk mereka mempersiapkan gerakan yang mereka antisipasikan dalam waktu yang tidak lama. Bahwa inisiatif di Jakarta ya.
Posting Komentar